Menyaksikan apa yang dilakukan jemaat mula-mula (Kis. 2:41-47) mungkin membuat kita heran sekaligus iri. Jumlah yang besar itu—lebih dari 3.000 orang dewasa—tidak mengurangi kualitas persekutuan mereka. Biasanya—penyakit jemaat modern—semakin banyak anggota, semakin sulit memahami satu sama lain.

Catatan Lukas memperlihatkan, jemaat mula-mula tidak membedakan antara yang rohani dan profan; antara ibadah dan kehidupan sehari-hari. Di satu sisi, mereka bertekun dalam pengajaran dan persekutuan. Lukas juga menyatakan, mereka senantiasa berkumpul untuk memecahkan roti dan berdoa. Di sisi lain, selalu ada warga jemaat yang menjual hartanya, kemudian membagi-bagikannya kepada warga papa sesuai kebutuhan.

Mereka tak cuma bicara kasih, namun langsung mempraktikkannya. Kasih meraga dalam hidup sesehari.

Barangkali kita merasa janggal dengan praktik macam begini. Tetapi, itulah yang dilakukan. Jemaat mula-mula meyakini, apa yang mereka miliki merupakan kepunyaan bersama. Intinya: mereka tidak ingin rekan seiman hidup kekurangan, apalagi mati kelaparan. Sekali lagi, tidak hanya ibadah diutamakan, tetapi juga keseharian hidup.

Dengan kata lain: setiap hari mereka beribadah melalui kata dan karya. Ibadah tidak dibatasi dan diikat ritus, tetapi merupakan gaya hidup. Itulah ibadah sejati.

lanjut…

– yoel indrasmoro