Usulan tindakan bunuh diri itu, bukanlah karena dia tidak lagi sayang kepada suami. Kemungkinan besar karena dia tak lagi tahan menyaksikan suaminya menderita. Buktinya: dia tetap setia mendampingi Ayub.

Ayub sendiri tak sepakat dengan sang istri. Dia malah murka: ”Engkau berbicara seperti perempuan gila! Apakah kita mau menerima yang baik dari Allah, tetapi tidak mau menerima yang buruk?” (Ayub 2:10).

Tentulah sang istri kaget mendengar kemarahan suaminya. Mungkin pula dia gusar karena dianggap gila. Namun, sang istri diam. Dia tidak membalas perkataan Ayub. Meski dalam hatinya sakit, dia agaknya sadar Ayub pastilah lebih sakit.

TELADAN ISTRI AYUB
Tampaknya, keluarga Kristen masa kini perlu belajar dari pengalaman hidup keluarga di tanah Us ini. Meski dalam derita, mereka tetap tinggal sebagai suami-istri. Sang istri tak pernah meninggalkan suaminya.

Bisa jadi, istri Ayub tak dapat menerima apa yang terjadi pada suaminya. Mungkin saja, dia tidak begitu memahami pola pikir dan iman suaminya. Tetapi, dia tetap bertahan dan setia mendampingi suaminya.

Sewaktu Ayub menghardiknya sebagai perempuan gila, sang istri tidak menjawab apa-apa. Bisa jadi, dia menyadari kesalahannya. Dan diam merupakan solusi jitu.

Sebagaimana istri Ayub, kita pun perlu belajar diam. Ketika pasangan hidup—mungkin karena pergumulan berat—menegur kita, maka jalan teraman, termurah, dan pasti disukai Tuhan ialah diam.

Terlebih jika sesungguhnya kitalah yang salah. Jangan sampai, meski salah, kita malah membalas teguran sang suami. Kalau begini, perang tanding tak bisa dielakkan. Jika itu yang terjadi, tak sedikit perkawinan yang bermuara pada perceraian.

Diam itu emas. Dalam diam kita akan lebih mampu mendengarkan suara pasangan hidup kita. Dalam diam kita akan lebih mampu mendengarkan perasaannya dan tentunya lebih mengetahui kebutuhannya. Itu berarti kita akan lebih mampu lagi mendampinginya.

Kisah Ayub tak berhenti di situ. Allah memulihkan kehidupannya. Dia melimpahkan tak cuma harta, juga anak-anak. Dan sang istri pun agaknya belajar bahwa Allah memang baik dan adil dalam setiap tindakan-Nya. Pemulihan itu menjadi buah manis karena kesetiaan sang istri dalam mendampingi suami. Dan semuanya itu terjadi sebab istri Ayub tidak merasa benar sendiri. Dia mau mendengarkan pendapat suaminya…

Bagaimana dengan kita?

yoel m. indrasmoro