You are currently browsing the category archive for the ‘GEMBALA PALSU VS GEMBALA SEJATI’ category.

Guru dari Nazaret itu tak hanya asal melihat. Dia tidak melihat orang banyak itu sebagai kumpulan. Lebih jauh, Yesus melihat orang banyak itu sebagai orang yang tidak mempunyai gembala. Yesus melihat orang banyak itu sebagai sekelompok orang tanpa arah. Orang banyak itu tanpa kepala.

Tanpa kepala bukanlah hal ideal. Tindakan anarkis bisa terjadi kapan saja. sejatinya, anarkis berasal dari bahasa Latin an (tanpa) dan arkhe (kepala). Arti harfiahnya adalah tanpa kepala. Dan Yesus tidak ingin terjadi tindakan anarkis. Dan semuanya itu digerakkan oleh satu kegiatan fisik: melihat.

KITA ADALAH PEMIMPIN
Kita adalah pemimpin. Kepala keluarga memimpin keluarganya, suami memimpin istrinya, kakak memimpin adiknya, guru memimpin muridnya, atasan memimpin bawahannya, direktur memimpin karyawannya, dan presiden memimpin negaranya. Setidaknya, kita memimpin diri kita sendiri.

Sebagai pemimpin, kita tak boleh menutup mata. Setelah itu, kita perlu turun tangan berlandaskan hati tulus. Hanya dengan cara itulah kepemimpinan bisa berjalan efektif.

Semuanya itu berawal dari perhatian. Semasa hidupnya, Ibu Teresa dari Kalkuta berkata, ”Perhatian adalah awal kesucian besar. Bila Saudara belajar untuk memperhatikan kepentingan orang lain, Saudara akan makin menyerupai Kristus. Karena hati-Nya lembut, selalu memikirkan kebutuhan orang lain. Ia berkeliling sambil berbuat baik.”

Berapakah kadar perhatian kita kepada orang-orang yang kita pimpin? Jangan-jangan kita malah mengabaikan mereka! Jika demikian, nubuat Yeremia agaknya dialamatkan juga kepada kita: ”Celakalah para gembala yang membiarkan kambing domba gembalaan-Ku hilang dan terserak!”

– yoel m. indrasmoro

GEMBALA SEJATI
Dalam mazmurnya, Daud memperlihatkan sikap dan tindakan Allah sebagai gembala. Dalam pandangan Daud, Gembala Sejati senantiasa mencukupi kekurangan domba-domba-Nya—baik jasmani maupun rohani. Daud mengaku: ”TUHAN bagaikan seorang gembala bagiku, aku tidak kekurangan.” (Mazmur 23:1, BIMK).

Para pemimpin masa kini, yang dipercaya Allah memimpin umat-Nya, perlu meneladani sikap dan tindakan Gembala Sejati. Mencukupi kekurangan umat bisa dijadikan semboyan hidup kepemimpinan.

Kekurangan tentu bisa beragam bentuknya— tunaaksara, tunabusana, tunadaksa, tunagizi, tunakarya, tunasosial, tunasusila, tunapolitik, tunawisma, dan masih banyak lagi. Intinya: tunakasih dan tunapengharapan. Para pemimpin masa kini perlu belajar dari Yesus, Sang Guru, untuk lebih peka terhadap orang yang dipimpinnya.

Penulis Injil Markus mencatat: ”Ketika mendarat, Yesus melihat orang banyak berkerumun, maka tergeraklah hati-Nya oleh belas kasihan kepada mereka, karena mereka seperti domba yang tidak mempunyai gembala. Lalu mulailah Ia mengajarkan banyak hal kepada mereka.” (Markus 6:34).

Tak hanya itu. Yesus pun akhirnya memberi makan orang banyak itu. Semuanya itu bersumber dari hati penuh kasih. Dan hati penuh kasih itu digerakkan oleh satu kegiatan fisik: melihat.

Yesus melihat. Guru dari Nazaret itu tidak menutup mata. Mata-Nya senantiasa terbuka. Keterbukaan mata itulah yang membuat-Nya mampu memahami keadaan orang banyak itu. Kepedulian biasa berawal dari keinginan untuk senantiasa membuka indra penglihatan.

Yesus melihat; bahkan melihat lebih dalam. Dia tidak langsung menutup mata setelah menyaksikan keadaan orang banyak itu. Dia tetap ingin membuka mata-Nya.

– yoel m. indrasmoro

lanjut…

”Celakalah para gembala yang membiarkan kambing domba gembalaan-Ku hilang dan terserak!” (Yeremia 23:1).

Demikianlah kecaman Allah kepada para pemimpin Israel karena mereka membiarkan umat Allah hilang dan terserak. Mereka hanya mengutamakan kepentingan sendiri.

Pada masa itu, menurut Derek Kidner, walau raja memiliki kuasa yang besar, penanganan urusan-urusan kecil biasa diserahkan kepada bawahannya. Dengan demikian, pada kejujuran dan ketekunan atau keculasan dan kemalasan para bawahanlah tergantung kesejahteraan atau kesengsaraan warga negara. Para bawahan itu lazim disebut gembala-gembala.

GEMBALA PALSU
Sejarah menunjukkan hebatnya godaan terhadap para penguasa—baik ditingkat tinggi maupun rendah—untuk menyalahgunakan jabatan. Itulah yang dikritik Allah dalam nubuat Yeremia!

Di mata Allah, para pemimpin Israel itu lupa hakikat selaku gembala. Mereka melihat para pengikutnya hanya sebagai objek. Objek yang dapat diperlakukan sekehendak hati mereka. Mereka lupa tugas sebagai gembala.

”Gembala” adalah kata dasar; kata kerjanya ”menggembalakan”. Kata kerja itu mengandaikan ada yang digembalakan. Tetapi apa mau dikata, mereka tidak memelihara domba-domba itu. ”Gembala” hanyalah jabatan tanpa tindakan. Mereka adalah gembala-gembala palsu.

Kalaupun bertindak, jauh melebihi wewenangnya. Meski hanya ”gembala”, mereka bertingkah laku seperti pemilik. Mereka lupa, mereka adalah orang  yang dipercaya sang pemilik domba sebagai gembala. Jelaslah, mereka telah menyia-nyiakan kepercayaan itu.

Allah tak hanya menuntut pertanggungjawaban, tetapi juga menjatuhkan vonis: ”Maka ketahuilah, Aku akan membalaskan kepadamu perbuatan- yang jahat, demikianlah firman TUHAN” (Yeremia 23:2).

Ketika para gembala tak lagi melaksanakan mandat dengan baik, Allah mengambil tugas itu. Allah mengambil domba-domba-Nya yang dipercayakan kepada mereka. Tindakan logis. Tiada guna memberikan kepercayaan kepada orang yang tak layak dipercaya.

– yoel m. indrasmoro

lanjut…

Masukkan alamat surat elektronik Anda untuk mengikuti blog ini dan menerima pemberitahuan tentang tulisan baru melalui surat elektronik.

Bergabung dengan 2.613 pelanggan lain

Blog Stats

  • 47.928 hits

Arsip