You are currently browsing the tag archive for the ‘Bersyukur’ tag.

Keempat,  macam-macam unsur yang memenuhi akuarium juga dapat menggambarkan persamaan dan perbedaan yang Tuhan berikan kepada manusia. Bahwa semua manusia menerima anugerah Tuhan yang sama penuhnya, seperti besar-kecilnya cangkir berbeda tetapi airnya sama melimpahnya. Maka kita jangan suka merasa iri jika melihat orang lain beroleh kebahagiaan dalam hidupnya, sementara kita sendiri juga sudah menerima kebahagiaan yang tak sepantasnya kita terima. Dalam sebuah kesempatan pemahaman Alkitab lanjut usia saya pernah bertanya, “Di antara kita apa ada yang mau menjadi Presiden SBY yang berkedudukan tinggi itu?” Maka semua peserta tanpa dapat komando menanggapi hanya dengan gelak tawa, merasa tidak mengingini jadi presiden.

Kemampuan bersyukur Yunus sungguh sangat rendah.

–        Dia pernah melarikan diri ketika diutus Tuhan untuk menegur penduduk Niniwe agar bertobat, Tuhan tidak mencoret namanya, tetapi malah memberi kesempatan yang kedua. Untuk itu seharusnya Yunus bersyukur kepada Tuhan, tetapi hal itu tidak dilakukannya.

–        Ketika Tuhan melihat pertobatan Niniwe, Tuhan begitu terharu sampai menyesal mengapa pernah merencanakan hukuman bagi mereka.  Untuk itu seharusnya Yunus bersyukur, tetapi ia malah marah kepada Tuhan mengapa  “mengobral” pengampunan-Nya kepada Niniwe.

Kalau begitu, Yunus adalah seorang utusan Tuhan yang lebih mengutamakan kepentingan sendiri di atas kepentingan Tuhan. Lebih mengikuti perasaan hati sendiri dari pada hati Tuhan.

Sebagai hamba yang penuh kekurangan, tetapi boleh melihat  pelayanannya yang “berhasil” karena campurtangan Tuhan tentunya, Yunus tidak bisa menyampaikan syukurnya yang berlapis-lapis. Itu karena “katarak” pada mata-rohaninya begitu tebal, sehingga tidak mampu melihat anugerah Tuhan atasnya dan atas sesamanya.

Akhirnya, ada dua hal yang tak habis kita mengerti, yaitu: kemarahan Yunus dan kesabaran Tuhan. Keduanya sangat mencengangkan, “Apa urusannya Yunus jadi marah tatkala Tuhan mengaruniakan pengampunan atas penduduk Niniwe, dan bagaimana Tuhan masih bisa tahan menghadapi seorang nabi-Nya yang seperti itu?”  (Tetapi anak kami yang kedua, kami namai Yona, dengan harapan memperbaiki citra Yunus sebab memiliki ketulusan merpati dan selalu mendahulukan kepentingan Tuhan).

-daud adiprasetya

lanjut…

Seorang guru bijak berdiri di hadapan para murid-muridnya. Dengan tenang diambilnya sebuah akuarium kecil yang terbuat dari kaca yang bulat. Kemudian ia memasukkan ke dalamnya beberapa bola golf sampai penuh. Ia lalu bertanya kepada para muridnya apakah akuarium itu telah penuh. Para murid setuju, melihat kondisi akuarium yang telah diisi penuh oleh bola golf.

Sang guru kemudian mengambil batu-batu krikil berbagai ukuran kemudian mengisinya ke dalam akuarium. Ia kembali bertanya, apakah akuarium itu telah penuh. Para murid sedikit agak malu akan jawaban mereka yang pertama, kembali mengangguk dan menyetujui secara aklamasi bahwa akuarium itu telah penuh.

Kembali sang guru mengambil sekantung pasir dan menumpahkannya ke dalam akuarium sampai terisi penuh. Dengan tanpa ekspresi ia menanyakan pertanyaan yang sama seperti pada awal demonstrasinya. Kali ini para murid mulai tertawa mengingat keluguan mereka dan dengan lantang berkata, “Kali ini sudah penuh guru.”

Sang guru kemudian mengambil dua cangkir kopi dan menuangkannya ke dalam akuarium itu dan anehnya masih ada ruang dalam akuarium itu. Guru itu lalu berkata, “Akuarium ini melambangkan hidup Anda, bola golf yang pertama kali saya masukkan adalah prioritas terpenting dalam hidup Anda, seperti suami, isteri, anak-anak, dan kesehatan Anda. Semua prioritas yang saya baru saja sebutkan adalah hal yang sangat penting, dan walaupun semua hal dalam hidup Anda hilang, hidup Anda tetap utuh. Batu-batu krikil adalah prioritas kedua yang penting, seperti pekerjaan, rumah, dan alat transportasi Anda. Pasir melambangkan semua hal hal-hal yang sepele dalam hidup Anda, yang kalaupun hilang Anda dapat mencarikan gantinya. Namun, jika Anda menaruh pasir terlebih dahulu ke dalam akuarium maka tidak ada lagi ruang untuk batu-batu krikil dan bola golf.”

Seorang murid menyeletuk, “Yang dua cangkir kopi tadi melambangkan apa Pak?” Sambil tersenyum sang guru itu berkata, “Seberapa pun padat waktu kita, masih ada waktu untuk bercengkerama dengan seorang teman.”

Champion

Komentar penulis

Pertama, ide “Akuarium Melambangkan Hidup” sangat menarik. Ada satu hal yang terlupakan, yaitu bahwa bola golf yang dikatakan prioritas terpenting mengapa hanya menyebutkan suami, isteri, anak-anak, dan kesehatan? Tuhan Allah tak boleh ketinggalan, sebab justru menjadi penentu dan pintu gerbang untuk memasuki segala bidang hidup, dan akan mewarnai segala-galanya dalam hidup ini.

Kedua,  sangat bagus ketika dikatakan bahwa jika pasir yang didahulukan, maka tak akan ada lagi ruang untuk prioritas-prioritas lain yang lebih penting. Itulah cerita tentang kebodohan manusia di dunia, dari dulu sampai sekarang. Gara-gara ketertarikannya pada hal-hal yang menyenangkan hati, yang menjadi trend zaman, yang disangka bisa mengangkat dirinya untuk dikagumi, lalu mengabaikan kebutuhan utama hidupnya.

Ketiga, akuarium yang ternyata bisa memuat macam-macam unsur tadi juga sangat bagus untuk mengingatkan kemampuan bersyukur kita yang sebenarnya bisa berlapis-lapis, kalau kita mau. Karena sesungguhnya berkat Tuhan tidak satu bentuk, melalui berbagai cara yang tak terduga, dan datangnya tidak serentak. Maka seharusnya kita bersyukur senantiasa.

-daud adiprasetya

lanjut…

BELAJAR BERSYUKUR

Semuanya itu dimulai dari diri sendiri! Kita perlu berdamai dahulu dengan diri sendiri. Mustahil berdamai dengan orang lain, jika kita belum berdamai dengan diri sendiri.

Setiap orang yang belum mampu menerima kelemahan diri, pastilah sulit menerima kelemahan orang lain. Dia akan cenderung mencari kambing hitam. Semua orang serbasalah di matanya.

Sebaliknya, sulit bagi seseorang menerima kekuatan orang lain, jika dia belum menerima—atau belum menemukan—kekuatan dirinya. Dia mudah iri kala melihat kesuksesan orang lain.

Keserakahan—jika ditelusuri—berakar pada ketidakmampuan berdamai dengan keadaan diri sendiri. Ketidakmampuan bersyukur menjadikan orang—mumpung ada kesempatan—berlaku korup. Ujung-ujungnya: orang lain menderita!

Jika seseorang mampu mensyukuri berkat Tuhan, dia tak perlu lagi menjadi serigala terhadap sesamanya. Kedamaian bukan lagi utopia!

Kedamaian berawal pada kemampuan diri mensyukuri keberadaan diri sebagai karunia Tuhan! Belajar bersyukur mutlak perlu dalam hidup bersama dengan orang lain.

BELAJAR DARI KELUARGA KUDUS

Keluarga kudus bisa menjadi teladan. Yusuf, suami Maria, merupakan pribadi yang tak suka mencari kambing hitam. Dia juga tak ingin menang sendiri. Dia berupaya hidup berdamai orang lain, meski menyakitkan hatinya. Dia memilih sakit, ketimbang menyakiti.

Dengan ikhlas, Yusuf memutuskan pertunangannya dengan Maria secara diam-diam. Dia tidak mau ribut, juga tidak menyalahkan tunangannya. Dia berupaya untuk tidak melukai hati Maria.

Yusuf tidak merasa perlu membalas dendam. Dia juga tak ingin membuat sensasi dan mengharap belas kasihan orang. Agaknya, Yusuf telah berdamai dengan dirinya sendiri.

Penginjil Matius mencatat, hatinya tulus. Kenyataannya, dia memang mampu bersikap siap kehilangan. Bahkan kehilangan harga diri.

Kepada pribadi demikianlah, Allah menyingkapkan visi-Nya: ”Anak yang dikandung Maria adalah dari Roh Kudus”. Akhirnya, Yusuf pun mantap menjalankan tugas sebagai Bapak Hukum bagi Yesus.

– yoel m. indrasmoro

(bersambung)

Masukkan alamat surat elektronik Anda untuk mengikuti blog ini dan menerima pemberitahuan tentang tulisan baru melalui surat elektronik.

Bergabung dengan 2.613 pelanggan lain

Blog Stats

  • 47.928 hits

Arsip