You are currently browsing the tag archive for the ‘Herodes’ tag.

Yerusalem namanya. Kota damai artinya. Namun tak mudah mencari kedamaian hati di sana. Yerusalem akan menjadi saksi kisah seseorang yang lebih suka melipat tangan ketimbang turun tangan.

Pilatus, yang punya kuasa turun tangan, terlibat dan menegakkan kebenaran, ternyata lebih suka cuci tangan. Tak peduli urusan orang lain. Tak hirau kejahatan berlangsung di depan mata. Yang penting jabatan gubernur tetap dapat disandangnya. Dan karena itulah, Yesus menangisi Yerusalem.

Yerusalem namanya. Kota damai artinya. Namun damai dimengerti hanya bagi diri sendiri, bagi golongan sendiri, dan bagi kepentingan sendiri. Damai dicari hanya untuk kepuasan pribadi.

Yerusalem, kota yang terletak di atas gunung, tak lebih dari sebuah pelita yang ditutup dengan gantang. Terangnya hanya untuk dinikmati sendiri. Hangatnya hanya untuk dirasakan sendiri. Tak hirau nasib orang lain. Kalaupun beribadah, ya beribadah secara pribadi. Yang penting keselamatan pribadi. Orang lain dilirik, sejauh itu menyenangkan dan membawa keuntungan pribadi. Dan karena itulah, Yesus menangisi Yerusalem.

Yesus menangisi Yerusalem. Yesus menangisi Herodes Agung. Yesus menangisi Herodes Antipas. Yesus menangisi alim ulama. Yesus menangisi Yudas. Yesus menangisi Petrus. Yesus menangisi penduduk Yerusalem. Yesus menangisi Pilatus.

– yoel m. indrasmoro

(bersambung)

Berkata peliharakan lidah! Peribahasa ini sungguh relevan dalam hubungan antar manusia karena orang cenderung tidak hati-hati dalam bicara. Kebanyakan orang ngomong dulu baru mikir.

Kitab Amsal menyatakan: ”Hidup dan mati dikuasai lidah, siapa suka menggemakannya, akan memakan buahnya.” (Amsal 18:21). Lidah berkuasa menyelamatkan atau mematikan hidup manusia.

Itulah yang terjadi di tengah pesta ulang tahun Herodes (Markus 6:14-29). Yang berulang tahun tak sanggup memelihara lidah. Akibatnya sungguh fatal: ada yang mati di tengah pesta itu.

Memelihara Lidah

Kisah kematian itu berawal ketika raja terpesona oleh tarian anak perempuan sang permaisuri. Saking senangnya, dia bersabda, ”Mintalah apa saja yang kauingini, maka akan kuberikan kepadamu!”

Tampaknya, Herodes tak lagi berpikir logis. Dia merasa sanggup melakukan segala sesuatu. Bayangkan, jika gadis itu minta rembulan! Dan Herodes serius dengan ucapannya, bahkan bersumpah, ”Apa saja yang kauminta akan kuberikan kepadamu, sekalipun setengah dari kerajaanku!”

Mengapa sumpah? Mungkin raja takut dianggap obral janji. Herodes tak mau disepelekan. Ini soal gengsi. Karena gengsi jugalah, dia mau menyerahkan setengah kerajaan. Di sini letak masalahnya: apa hak raja menyerahkan setengah kerajaan? Apakah kerajaan itu memang miliknya?

Dalam pemahaman masyarakat Yahudi, raja mereka adalah Allah sendiri. Kerajaan Israel bukanlah properti pribadi, yang boleh dipindahtangankan sesukanya. Raja hanyalah pengelola. Saat raja lupa—atau melupakan—hakikat selaku pengelola, malapetaka mengancam kehidupan.

Uniknya, malapetaka terjadi karena gadis itu ternyata lebih mampu memelihara lidahnya. Dia tak buru-buru ngomong. Mungkin, dia berprinsip: ”pikir dahulu pendapatan, sesal kemudian tiada guna”.

Gadis itu tahu, kekuasaan ada di tangannya jika menerima tawaran raja. Hanya dengan anggukan kepala dia telah menempatkan diri setara raja. Namun, dia tak asal bicara, juga tak asal mengangguk. Dia menemui Herodias, ibunya, meminta nasihat.

– yoel m. indrasmoro

(bersambung)

Masukkan alamat surat elektronik Anda untuk mengikuti blog ini dan menerima pemberitahuan tentang tulisan baru melalui surat elektronik.

Bergabung dengan 2.613 pelanggan lain

Blog Stats

  • 47.928 hits

Arsip